PILKADA DAN KELEMBAGAAN PARTAI POLITIK DI DAERAH Oleh: Erfan Ghozy Div Sosialisasi KPU Kab Probolinggo
PILKADA DAN KELEMBAGAAN PARTAI POLITIK DI DAERAH
Oleh: Erfan Ghozy
Div Sosialisasi KPU Kab Probolinggo
Demokrasi dapat diartikan sebagai konsep pemerintahan yang berasal dari, oleh dan untuk rakyat. Artinya, rakyatlah yang memiliki mandat untuk menentukan secara langsung wakilnya yang akan duduk di jabatan eksekutif maupun legislatif. Dalam kehidupan modern, seperti saat ini, demokrasi langsung seperti hanya mungkin dilakukan melalui mekanisme pemilihan umum. Pemilihan umum merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (LUBERJURDIL). Melalui pemilulah, proses transfer kekuasaan dan penempatan kader-kader terbaik untuk menduduki jabatan politik yang tersedia dapat terlaksana dengan damai dan tertib. Tanpa perlu melalui proses panjang dan konflik horizontal, semisal kudeta pada negara-negara yang menganut sistem pemerintahan otoritarian atau pemerintah yang bertangan besi.
Indonesia sebagai penganut demokrasi, telah melaksanakan pemilu, baik pemilu legislatif dan eksekutif di tingkat nasional dan daerah. Meskipun, pemilihan kepala daerah (Pilkada) saat ini tidak termasuk rezim pemilu, sehingga “hanya” disebut pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di tingkat Provinsi, maupun Pemilihan Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota di tingkat Kabupaten/Kota. Namun demikian “perubahan penyebutan atau nama” tersebut tidak lantas menafikan esensi pemilu itu sendiri. Toh pelaksanaannya tetap diselenggarakan oleh KPU dengan asas LUBERJURDIL, dilaksanakan secara profesional, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Akan tetapi, ibarat tradisi orang jawa bahwa merubah nama perlu ritual khusus dan slametan. Mungkin dengan berganti nama ini pulalah kemudian muncul beberapa problem yang sebelumnya belum pernah terjadi. Salah satu yang paling mencolok adalah pelaksanaan Pilkada dengan calon tunggal.
Dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak tanggal 9 Desember 2015 nanti, terjadi fenomena menarik, yakni ada tiga daerah di Indonesia, yakni Kabupaten Blitar, Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Timor Tengah Utara yang hanya diikuti oleh satu calon. Sebelumnya, ada tujuh daerah yang “hanya” diikuti oleh calon tunggal, akan tetapi dalam detik-detik akhir secara resmi ditutupknya pendaftaran, keempat daerah itu telah terisi dua kontestan, jumlah minimal untuk dapat diselenggarakannya Pilkada. Akhirnya, KPU RI menetapkan daerah yang hanya diikuti oleh calon tunggal, pelaksanaannya “terpaksa” diundur pada Pilkada serentak tahun 2017 nanti. Namun babak baru terjadi saat Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan Efendi Ghazali dan Yayan Sakti Suryandaru tentang beberapa ketentuan dalam Pasal ….. Undang-Undang nomor 8 tahun 2018. Dengan keputusan tersebut, pasangan tunggal dinyatakan tetap dinyatakan sah untuk mengikuti proses Pilkada tahun ini. Adapun mekanismenya, pemilih diberikan kesempatan untuk mencoblos “IYA” pada surat suara, apabila dia setuju calon tunggal tersebut sebagai kepala daerahnya, serta mencoblos “TIDAK” apabila sebaliknya.
Keputusan MK tersebut dianggap bagi sebagain pihak cukup kontroversial karena seperti jamak diketahui, terdapat tiga prasyarat dalam demokrasi, yakni : kompetisi didalam memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan; partisipasi masyarakat, serta adanya jaminan hak-hak sipil dan politik. Bagi kelompok penentang, keputusan MK dianggap menafikan esensi demokrasi khususnya poin nomor satu, yaitu kontestasi peserta dalam memperebutkan kekuasaan melalui pemilihan. Keberadaan calon tunggal jelas tidak menggambarkan hal itu. Masyarakat hanya disuguhkan oleh satu calon, masyarakat hanya disodorkan satu pilihan tanpa adanya alternatif yang lain. Sebaliknya, bagi golongan pendukung, keputusan MK ini ibarat oase di padang tandus. Hal ini merupakan solusi, serta merupakan jalan tengah yang dinilai cukup tepat untuk mengatasi kebuntuan politik dan sirkulasi kepemimpinan di daerah. Bagi kelompok kedua ini, munculnya fenomena calon tunggal ini disebabkan faktor “kesengajaan” yang dilakukan oleh partai politik yang justru mencederai demokrasi dan merugikan masyarakat. Partai bersifat pragmatis dan hanya melanggengkan kepentingan mereka sendiri dengan mengabaikan kepentingan bersama.
Menurut penulis, setidaknya ada tiga asumsi yang memicu munculnya fenomena calon tunggal ini. Pertama, adalah kuatnya calon incumbent. Calon kepala daerah petahana yang cukup kuat, disertai hasil survey bahwa popularitas, elektabilitas bahkan akseptabilitas atau keterpilihannya sangat tinggi. Hal ini membuat partai yang akan mengusung calon lain, akan keder/takut untuk berkompetisi karena hampir dipastikan calon yang diusungnya akan kalah. Kedua, calon tunggal yang memiliki kekuatan politik dan finansial yang kuat, tetapi tidak disukai. Partai lain “tidak berani” atau “tidak mampu” mengusung calonnya karena secara politik dan finansial tidak mampu menandingi “kekuatan” salah satu pasangan calon, sehingga mereka berharap agar pilkada diundur, agar “kekuatan” calon tereduksi atau apabila memang terpaksa pilkada digelar hanya dengan calon tunggal, partai oposisi berharap agar masyarakat menggunakan hak pilihnya untuk mencoblos “TIDAK” agar calon tersebut tidak terpilih sebagai kepala daerah. Ketiga, “pembelian” rekomendasi DPP partai yang dilakukan oleh pasangan calon, agar proses pencalonannya mulus dan rival politiknya tidak dapat turut maju dalam pilkada.
Munculnya calon tunggal, merupakan realitas sosial yang tak terbantahkan. Terlepas dari benar atau tidaknya tentang latar belakang munculnya fenomena tersebut, penulis meyakini bahwa terjadi kegagalan partai politik dalam melakukan pendidikan politik, serta gagal dalam melakukan rekrutmen politik, sebagaimana diamanahkan dalam Pasal 10 dan 11 Undang-Undang nomor 2 tahun 2008 jo Undang-Undang nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik. Sikap skeptis dan pragmatis yang tidak mendaftarkan calonnya dikarenakan tidak berani bersaing karena secara matematis akan kalah, bukan bagian dari pendidikan yang baik. Seharusnya mereka tetap mencalonkan kandidatnya, terlepas soal menang atau kalah. Terpenting adalah mereka mampu menghidupkan kehidupan demokrasi dan antusiasme masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Selain itu, sebenarnya mereka mempunyai hal positif lain yang didapatkan, yakni untuk “memanaskan” mesin partainya dan setidaknya menjadi konsolidasi jangka panjang sekaligus untuk test the water atau mengukur elektabilitas menghadapi Pemilu Legislatif tahun 2019 nanti.
Selain itu dalam hal rekrutmen, partai terkesan tidak serius atau bahkan terkesan asal dalam memilih kandidatnya. Tentu tidak semua seperti itu, beberapa partai juga mempertimbangkan kualitas calon seperti halnya pencalonan kembali incumbent atau tokoh yang memiliki popularitas dan jaringan personal yang kuat. Namun demikian, tidak sedikit partai yang memberikan rekomendasi atau penunjukan calon hanya faktor kedekatan calon dengan petinggi parpol, kebijakan ketua umum/elit partai, kekuatan finansial calon, dan hal-hal pragmatis lain. Celakanya, seringkali turunnya rekomendasi tersebut hanya beberapa saat sebelum ditutupnya pendaftaran, tanpa juga diimbangi dengan mekanisme penjaringan yang baik dan teratur, seperti meniadakan survey tentang ketokohan dan keterpilihan, marketing politik atau pencitraan, serta konsolidasi internal secara terstruktur dan massif dengan organ di bawahnya. Bukan rahasia umum apabila beberapa calon kepala daerah, kurang populer/kurang disukai oleh pengurus maupun internal partainya sendiri karena keputusan sepihak dari elit parpol tersebut.
Sangat disayangkan, hal tersebut terjadi pada partai politik kita. Bahkan seakan hal lumrah, meskipun kita mengetahui, tetapi tidak ada upaya, baik secara internal keorganisasian partai, maupun eksternal melalui desakan konstituen atau masyarakat untuk membenahi hal tersebut. Padahal, bobroknya partai merupakan tolok ukur bobroknya negeri ini. Sebaliknya, terlembanganya atau semakin organisasi partai itu baik, maka baik pula negeri ini. Hal tersebut dimungkinkan karena melalui partailah rekrutmen dan penentuan jabatan politik itu dimungkinkan, sebagaimana diamanahkan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011. Suka atau tidak suka, pengisian jabatan atau posisi penting, baik jabatan politik maupun jabatan publik, secara langsung maupun tidak langsung masih mendapatkan pengaruh atau intervensi partai. Atau dengan kata lain, negeri ini “tergadai” oleh partai politik. Oleh sebab itu, partai politik yang profesional, transparan, akuntabel dan terlembaga dengan baik menjadi harga mati. demi mewujudkan apa yang dicita-citakan, baik untuk mewujudkan hal-hal besar yang ideal, serta untuk melanggengkan kekuasaannya.
Volatilitas Partai dan Analisis Pilkada Serentak tahun 2017 di Kabupaten Probolinggo
Menurut Huntington[1] pelembagaan atau institusionalisasi partai adalah sebuah proses pengorganisasian dan prosedur untuk mencapai stabilitas dan nilai tertentu. Sementara itu, pelembagaan partai menurut Vicky Randall dan Lars Svasand adalah, proses pemantapan partai politik baik secara struktural dalam rangka mempolakan perilaku maupun secara kultural dalam mempolakan sikap atau budaya (the process by wich the party become established in terms of both integrated patterns on behaviour and of attitude and culture). Kuatnya tokoh partai atau kebergantungan partai terhadap ketua umum dan elit atau yang lebih populer disebut partai sebagai “milik” ketua umum, penentuan dan rekrutmen calon yang menduduki jabatan politis secara tidak demokratis, partai masih terpengaruh dengan kondisi eksternalnya. Selain itu, salah satu faktor untuk melihat apakah partai sudah terlembaga atau tidak dengan melihat naik-turunnya suara pemilih atau volatilitas.
Volatilitas partai mencoba untuk merekam perubahan kekuatan parpol melalui perolehan suara pemilih antara dua pemilihan berturut-turut. Rumus untuk melihatnya adalah dengan Indeks Pedersen. Indeks ini tidak mengungkap alasan perpindahan pemilih secara individual, namum Indeks Pedersen dapat mengungkap tingkat konsilidasi atau pelembagaan sistem kepartaian.[2] Apabila suatu partai dapat terlembaga dengan baik, maka partai akan semakin kuat, memiliki kecenderungan pemilih yang loyalis atau dengan kata lain, volatilitasnya rendah. Sebaliknya, apabila partai tidak terinstitusionalisasi dengan baik, maka kecenderungan dalam pemilu akan mengalami volatilitas yang tinggi atau perolehan suaranya fluktuatif dan mengarah semakin turun/berkurang.
PERSENTASE PEROLEHAN KURSI PARTAI POLITIK DARI PEMILU KE PEMILU[4] |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
NO | NAMA PARTAI | PEMILU 2004 | PEMILU 2009 | PEMILU 2014 | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
PEROLEHAN KURSI | % | PEROLEHAN KURSI | % | PEROLEHAN KURSI | % | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
1 | NASDEM | 0 | 0% | 0 | 0% | 14 | 31% | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2 | PKB | 15 | 33% | 9 | 18% | 8 | 18% | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3 | PKS | 0 | 0% | 1 | 2% | 0 | 0% | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4 | PDI PERJUANGAN | 7 | 16% | 7 | 14% | 5 | 11% | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5 | GOLKAR | 6 | 13% | 7 | 14% | 5 | 11% | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6 | GERINDRA | 0 | 0% | 1 | 2% | 5 | 11% | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7 | DEMOKRAT | 1 | 2% | 3 | 6% | 1 | 2% | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8 | PAN | 0 | 0% | 1 | 2% | 0 | 0% | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9 | PPP | 8 | 18% | 9 | 18% | 5 | 11% | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
10 | HANURA | 0 | 0% | 4 | 8% | 2 | 4% | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
11 | PBB | 0 | 0% | 0 | 0% | 0 | 0% | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
12 | PKPI | 0 | 0% | 0 | 0% | 0 | 0% | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TOTAL KURSI DPRD | 45 | 50 | 45 |
VOLATILITAS SEBELAS POLITIK NASIONAL DI KABUPATEN PROBOLINGGO
(ANGKA PEROLEHAN SUARA DALAM PERSEN) |
|||||||||||||
NO | PEMILU TAHUN | NAMA PARTAI POLITIK | |||||||||||
PKB | PKS | PDI P | PG | GERINDRA | PD | PAN | PPP | HANURA | PBB | PKPI | |||
1 | 2004 | 34 | 2 | 9 | 12 | – | 4 | 2 | 13 | – | 2 | 1 | |
2 | 2009 | 17 | 4 | 14 | 11 | 3 | 5 | 3 | 15 | 6 | 1 | 0 | |
3 | 2014 | 19 | 4 | 9 | 10 | 9 | 5 | 2 | 9 | 5 | 1 | 0 | |
SELISIH MUTLAK (SM) | 19 | 2 | 10 | 2 | 6 | 1 | 2 | 8 | 1 | 1 | 1 | ||
VOLATILITAS (1/2 x SM) | 9,5 | 1 | 5 | 1 | 3 | 0,5 | 1 | 4 | 0,5 | 0,5 | 0,5 | ||
VOLATILITAS KESELURUHAN PARTAI DI PROBOLINGGO ADALAH = 1/2 (9,5+1+5+1+3+0,5+1+4+0,5+0,5+0,5) = 13, 25 % | |||||||||||||
catatan : semakin kecil volatilitas, semakin terlembaga partai tersebut; NASDEM tidak dapat dihitung volatilitasnya karena baru mengikuti pemilu satu kali | |||||||||||||
Analisis data yang ditampilkan tersebut, terkait dengan kemungkinan pelaksanaan Pilkada tahun 2017 di Kabupaten Probolinggo adalah sebagai berikut :
- Dengan asumsi dengan syarat pencalonan seperti tahun ini, partai boleh mencalonkan apabila memiliki jumlah kursi 25% dan suara sah 30%, serta dengan ketentuan lain bahwa partai yang tidak mempunyai kursi tidak memiliki hak untuk mengajukan calon, maka kemungkinan hanya ada tiga pasangan calon atau sebanyak-banyaknya empat calon yang akan berkontestasi, baik dengan mengusung calon dari partai sendiri (semisal Nasdem) maupun berkoalisi dengan partai lain. Kemungkinan ini belum termasuk pasangan calon dari jalur independen/perseorangan.
- Secara keseluruhan, volatilitas yang dapat dijadikan salah satu tolok ukur tingkat pelembagaan partai politik di Kabupaten Probolinggo, masih dapat dikategorikan kecil/rendah yakni sebesar 13,25%. Itu artinya partai politik, ternyata memiliki suara pendukung/konstituen yang cukup stabil, terkecuali PKB yang memiliki tingkat volatilitas sebesar 9,5%. Apabila melihat koalisi partai pengusul calon kepala daerah yang berhasil menduduki kursi eksekutif, dengan asumsi komposisi yang tidak berubah (PKB, PDI P, Gerindra, PAN dan Hanura), serta partai yang menjadi kompetitor pada Pemilukada tahun 2012 lalu dengan asumsi tetap akan mencalonkan sendiri (Golkar, PPP dan Demokrat), sekaligus mengandalkan mesin partai yang memiliki volatilitas cukup rendah atau dengan kata lain memiliki massa fanatik masing-masing, maka Pilkada Probolinggo akan tetap berjalan menarik dengan kekuatan yang cukup berimbang.
- Bila asumsi-asumsi di atas berlaku normal, maka kemungkinan besar hajatan Pilkada di Kabupaten Probolinggo, tahapan pencalonannya akan berlangsung dengan lancar, tanpa diwarnai dengan kemungkinan munculnya calon tunggal. Namun demikian itu hanya sebatas prediksi. Oleh sebab itu, perlu upaya dari para stakeholder Pilkada, khususnya KPU Kabupaten Probolinggo untuk mulai membangun komunikasi yang intens dan meyakinkan kepada partai untuk secara mencalonkan kandidatnya dan berkompetisi secara sehat. Di sisi lain, partai politik juga mulai memanaskan mesin partainya, melakukan penjaringan sesuai dengan mekanisme yang profesional dan transparan, sehingga mampu melahirkan calon kepala daerah yang mumpuni sesuai dengan kriteria-kriteria yang diharapkan.
Ditulis oleh :
Qori Mughni Kumara
Staff Sekretariat KPU Kabupaten Probolinggo
Aktif di Sekolah Demokrasi Kabupaten Pasuruan 2015