Mewujudkan Penyelenggara Pemilu, Peserta Pemilu dan Pemilih yang Berintegritas Oleh: Muh Ikhwanudin Alfianto
Mewujudkan Penyelenggara Pemilu, Peserta Pemilu
dan Pemilih yang Berintegritas
Oleh: Muh Ikhwanudin Alfianto*
Integritas dalam sebuah Pemilu selama ini lebih sering ditujukan bagi penyelenggara Pemilu saja. Pemberitaan di media juga lebih sering menyoroti masalah integritas Penyelenggara Pemilu baik KPU maupun Bawaslu dengan jajarannya sampai ke bawah. Misalnya tentang pelanggaran dan sanksi peringatan maupun pemberhentian penyelenggara Pemilu. Namun, benarkah demikian? Bukankah pelaksanaan Pemilu berkualitas dan berintegritas juga diukur dari unsur-unsur yang lain, seperti Peserta Pemilu (baik itu calon wakil rakyat maupun calon kepala daerah) dan juga partisipasi masyarakat yang menjadi Pemilih dalam Pemilu.
Per-definisi, integritas adalah mutu, sifat dan keadaan yang menunjukkan keadaan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran. Berintegritas berarti memililki integritas (KKBI, 2013). Integritas berarti konsistensi dan keteguhan yang tak tergoyahkan dalam menjunjung tinggi nilai atau konsistensi antara tindakan dengan nilai dan prinsip. Seorang dikatakan “mempunyai integritas” apabila tindakannya sesuai dengan nilai, keyakinan dan prinsip yang dipegangnya. Pemimpin yang berintegritas dipercayai karena apa yang menjadi ucapannya juga menjadi tindakannya.
Integritas Pemilu adalah salah satu dari enam (6) parameter proses penyelenggaraan Pemilu yang demokratis. Pemilu demokratis yang diadopsi Indonesia pada dasarnya adalah jabaran Deklarasi Umum HAM PBB. Inter Parliament Union (IPU) pada 1994 merinci pengertian Pemilu yang bebas dan adil itu dalam Deklarasi tentang Kriteria Pemilu Bebas dan Adil. Namun, Electoral Integrity Group (beranggotakan 15 pensiunan hakim agung dan mantan penyelenggara Pemilu dari 13 negara), mengajukan ”keadilan Pemilu” sebagai parameter Pemilu demokratis. Pengertian ini dikembangkan secara lebih luas dari pada yang dikemukakan International IDEA. Keadilan Pemilu bagi International IDEA lebih merujuk pada sistem penyelesaian sengketa Pemilu yang adil dan tepat waktu, yang belakangan ditambah unsur sistem merespons pengaduan (Subakti, 2013).
Kemudian Global Commission on Election, Democracy, and Security yang dipimpin Kofi Annan menawarkan parameter lain untuk Pemilu demokratis, yaitu integritas Pemilu, Pertama, Pemilu berdasarkan prinsip demokrasi dengan hak pilih yang berlaku umum dan kesetaraan politik seperti digambarkan dalam Deklarasi Umum HAM dan Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Kedua, persiapan dan pelaksanaannya profesional, imparsial, dan transparan. Ketiga, kepatutan dan praktik etika menuntun seluruh siklus Pemilu.
Indonesia telah menetapkan enam ukuran Pemilu yang demokratis yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil seperti yang termuat dalam pasal 22 E ayat 1 UUD 1945. UU Pemilu dan Penyelenggara Pemilu yang menjadi turunannya kemudian menambah beberapa kriteria lagi seperti transparan, akuntabel, tertib dan profesional. Dalam mengimplementasikan 6 asas penyelenggaraan Pemilu tersebut, Indonesia pasca reformasi telah melakukan sejumlah perbaikan mulai dari perbaikan sistem Pemilu (electoral system), tata kelola Pemilu (electoral process) dan penegakan hukum Pemilu (electoral law) (Arif Budiman, 2015).
Independensi dan integritas penyelenggara Pemilu makin kuat setelah terbitnya Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu yang memberikan mandat pembentukan DKPP yang bersifat permanen dengan tugas memeriksa dan memutus pengaduan atau laporan adanya dugaan pelanggaran etika penyelenggara Pemilu dengan sifat final dan mengikat. Kehadiran DKPP telah menumbuhkan semangat penyelenggara Pemilu untuk bekerja secara profesional dan berintegritas. Integritas Pemilu mengikat seluruh aktor yang berperan dalam Pemilu seperti; peserta, penyelenggara, pemerintah, dan masyarakat pemilih untuk bersama sama menjalankan seluruh tahapan Pemilu.
Integritas Penyelenggara Pemilu
Setelah era reformasi, ternyata masih memiliki celah untuk menyimpangkan integritas para penyelenggara Pemilu. Terkait indikasi pelanggaran prinsip integritas dan independensi penyelenggara Pemilu, sampai dengan 9 Oktober 2015, DKPP telah memberhentikan 314 Penyelenggara Pemilu (Jawa Pos, 10/10). Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menerima banyak pengaduan terkait dugaan pelanggaran kode etik oleh jajaran penyelenggara Pemilu. Dari jumlah yang diberhentikan, mencakup unsur KPU dan Bawaslu, dengan struktur dari tingkat Provinsi, kabupaten/kota hingga tingkat kelurahan/ desa.
Melalui situs DKPP dapat ditelusuri jumlah kasus pemberhentian, asal struktur penyelenggara (KPU Kabupaten/Kota, PPK/PPD, PPS, Panwaslu, Panwascam), asal daerah, dan kasus pelanggaran yang dilakukan. Berbagai jenis pelanggaran yang dilakukan mulai dari kelalaian administratif, dugaan melakukan kecurangan hingga indikasi terlibat politik uang. Jika melihat data perkara di DKPP, Provinsi Jawa Timur tercatat cukup banyak jumlah yang masuk. Sejak Juni 2012 sampai September 2015, DKPP telah menerima sebanyak 130 pengaduan dimana angka tersebut sudah termasuk dengan pengaduan yang masuk terkait proses tahapan pada Pemilihan Serentak 2015 sebanyak 12 pengaduan. Namun, dari 130 pengaduan tersebut, sebanyak 99 pengaduan dinilai tidak memenuhi syarat sehingga tidak layak disidangkan. Sedangkan yang masuk sidang ada 31 pengaduan.
Integritas penyelenggaraan pada semua tahapan Pemilu menjadi hal penting yang harus diperhatikan oleh penyelenggara Pemilu yakni KPU dan Bawaslu beserta jajarannya kebawah. Kedua lembaga ini memiliki peran dan tanggungjawab strategis sekaligus jadi harapan rakyat untuk menyelenggarakan pemilu dengan baik dan berintegritas dengan melaksanakan seluruh tahapan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga menghasilkan pemimpin-pemimpin bangsa yang memiliki integritas yang baik pula.
Integritas Pemilih
Untuk mewujudkan pemilu yang berkualitas, tidak cukup hanya integritas penyelenggara Pemilu. Membangun integritas pemilih merupakan tantangan berat dalam penyelenggaraan Pemilu. Penyelenggaraan Pemilu harus memberikan porsi yang cukup bagi pemilih untuk memberikan pilihan politiknya berdasarkan nilai-nilai integritas. Penyelenggara Pemilu tidak boleh hanya sekedar melaksanakan tahapan pemilu saja. Demikian pula peserta Pemilu (calon wakil rakyat dan calon kepala daerah) tidak boleh hanya sibuk mengumbar janji-janji politik yang dikemas manis dalam balutan visi misi. Tetapi kedua belah pihak harus terus melakukan pendidikan politik bagi pemilih/ masyarakat agar mampu “melek politik” dan menjadi pemilih yang cerdas.
Salah satu indikator Pemilih yang cerdas adalah pemilih yang selalu berpartisipasi dalam setiap tahapan Pemilu. Pada masa/ tahapan pencalonan, pemilih ikut mengkritisi dan memberikan masukan/ tanggapan terhadap calon wakil rakyat atau calon kepala daerah. Pada masa pemutakhiran data pemilih, pemilih selalu mengecek keberadaannya, apakah sudah terdaftar sebagai pemilih atau belum. Lalu pada masa/tahapan kampanye, pemilih terus menyimak visi misi dan program serta rekam jejak calon wakilnya atau calon pemimpinnya. Dan pada hari H, datang ke TPS dan menggunakan hak pilihnya dengan baik dan benar.
Memang tantangannya berat karena kebiasaan yang ada di masyarakat, integritas calon tidaklah menjadi acuan utama pemilih dalam menentukan pilihan politiknya. Alasannya cukup sederhana, kampanye mengenai nilai-nilai integritas, termasuk soal antikorupsi, jauh dari bahasa yang dipahami masyarakat pada umumnya. Bagi sebagian publik, persoalan korupsi hanya dipandang sebagai urusan penegak hukum dan penyelenggara negara. Adapun urusan soal pelanggaran terhadap pasal-pasal korupsi, dianggap tidak ada hubungannya dengan keseharian publik.
Selain itu, publik juga harus diberi pemahaman dan sadar bahwa dia bisa mengubah semua persoalan di atas hanya jika menggunakan pilihan politiknya secara bijak. Bahwa hanya dengan jalur politik (Pemilu) publik bisa menggunakan kekuasaannya untuk menyelesaikan problem sosial dan ekonomi yang selama ini amat membebani. Sistem demokrasi yang telah disepakati dan dijalankan ini hanya akan jadi seremonial lima tahunan jika pemilih tidak terdidik secara politik. Ada ungkapan bahwa rusaknya sebuah negara bukan karena tidak ada orang-orang baik di negara itu, tetapi karena diam, acuh dan tidak pedulinya orang-orang baik pada saat penentuan pemilihan pemimpin di negara itu.
Integritas Peserta Pemilu
Celah yang membahayakan pada Pemilu pasca era reformasi ini adalah adanya intervensi materi yang bisa “ditembakkan” kepada semua pihak sejak dari masyarakat pemilih, parpol, caleg, penyelenggara Pemilu, hingga aparat pemerintah yang terkait dengan kegiatan Pemilu. Materi atau uang yang diberikan oleh peserta Pemilu kepada masyarakat pemilih, dimaksudkan untuk “membeli” suara secara langsung, agar masyarakat dapat memberikan suara kepada sang pembeli tanpa peduli latar belakang dan motif sang pembeli yang ingin menjadi wakil rakyat atau kepala daerah tersebut.
Padahal apapun bentuknya, pembelian suara ini bisa dikategorikan sebagi suap dalam proses demokrasi. Intervensi materi terhadap parpol biasanya diberikan oleh pihak yang bernafsu ingin menjadi calon legislatif maupun calon kepala daerah. Disamping itu, calegpun dapat juga diintervensi oleh materi (dari caleg lain) untuk menghibahkan konstituennya kepada sesama caleg yang memiliki peluang yang lebih besar. Sehingga seorang calon wakil rakyat maupun calon kepala daerah yang berintegritas haruslah menjaga diri untuk tidak tergoda “membeli” suara rakyat dengan materi atau uang.
Selain itu, Peserta Pemilu, baik itu calon wakil rakyat maupun calon kepala daerah yang berintegritas haruslah melaksanakan semua tahapan dengan baik dan tertib sejak tahapan pendaftaran, masa kampanye dan pemungutan penghitungan suara sampai pada tahapan sengketa Pemilu. Hal-hal yang menjadi larangan pada setiap masa/tahapan haruslah dihindari, misalnya pemalsuan dokumen, kampanye tidak pada tempat dan waktunya dan sebagainya.
Melihat kondisi di atas, maka sudah saatnya semua pihak menyerukan penegakan kehormatan Pemilu guna melawan hal-hal yang kontra produktif dengan integritas pemilu. Komitmen semua elemen dan stakeholder pemilu diharapkan dapat menghasilkan Pemilu berintegritas guna melahirkan wakil rakyat dan pemimpin yang memiliki integritas. Meskipun terwujudnya Pemilu yang berintegritas di tengah masyarakat yang permissive ini masih merupakan mimpi besar, namun mimpi ini dapat terwujud bila semua pihak menjunjung tinggi kehormatan, apalah artinya kemenangan bila diperoleh dengan mengabaikan kehormatan. Semua komponen bangsa (khususnya penyelenggara pemilu, peserta pemilu dan masyarakat pemilih) harus sama-sama menjadikan momentum ini sebagai komitmen untuk mewujudkan Pemilu berintegritas. Wallahu A’lam.
*Penulis adalah Ketua KPU Kabupaten Ponorogo.