CALON TUNGGAL, “SETUJU” ATAU “TIDAK SETUJU”, oleh: Titin Wahyuningsih, Div. Sosialisasi dan Pendidikan Pemilih KPU Kab. Pasuruan
9 Desember 2015, adalah hari yang akan membawa makna yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia, karena hari itu merupakan pengalaman pertama dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak. Hal ini merupakan salah satu tanda bahwa demokrasi di Indonesia telah mengalami perkembangan yang sangat luar biasa.
Sejak dimulainya tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak yakni pada bulan April 2015 yang lalu, berbagai perkembangan terjadi diantaranya dalam proses pencalonan. Tahapan pencalonan yang dimulai pada bulan Juli berjalan cukup panjang hingga terjadi beberapa tahap perpanjangan masa pendaftaran calon. Perpanjangan tahap pertama menyisakan tujuh daerah dengan calon tunggal, yaitu Tasikmalaya, Kota Surabaya, Kabupaten Blitar, Kabupaten Pacitan, Kota Mataram, Kabupaten Timor Tengah Utara dan kota Samarinda. Kemudian dilakukanlah perpanjangan tahap kedua dengan mandasari rekomendasi Bawaslu. Setelah ditutupnya perpanjangan kedua, terdapat empat daerah yang masih memiliki calon tunggal, yakni Tasikmalaya, Kabupaten Blitar, Timor Tengah Utara dan kota Mataram. Perpanjangan masa pendaftaran calon ini dilakukan oleh KPU, karena kerangka hukum pemilihan kepala daerah mewajibkan pemilihan kepala daerah diikuti sekurang- kurangnya dua pasangan calon. Ditengah perjalanan akhirnya kota Mataram telah memiliki tambahan pasangan calon atas dikabulkannya gugatan pasangan calon kepada Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) setempat, setelah ditolak oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mataram.
Seorang Kader Partai melalui kuasa hukumnya mengajukan proses gugatan terhadap kerangka hukum yang mewajibkan pemilihan kepala daerah diikuti sekurang- kurangnya dua pasangan calon, yaitu pada Pasal 51 ayat (2) dan pasa; 52 ayat (2) Undang- undang No. 1 tahun 2015 ke Mahkamah Konstitusi. Hingga pada akhirnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 100/PUU-XIII/2015 ditetapkan. Putusan Mahkamah Konstitusi menjawab kekosongan hukum untuk penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan calon tunggal. Putusan MK menyatakan bahwa pilkada yang hanya diikuti satu pasangan calon haruslah ditempatkan sebagai upaya terakhir, semata-mata demi memenuhi hak konstitusi warga negara, setelah sebelumnya diusahan dengan sungguh- sungguh untuk menentukan paling sedikit dua pasangan calon. Pemilihan kepala Daerah yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon, manifestasi kontestasinya lebih tepat apabila dipadankan dengan plebisit yang meminta rakyat (pemilih) untuk menentukan pilihannya apakah “setuju” atau “tidak setuju” dengan pasangan tersebut.
Setelah melalui berbagai tahapan pendaftaran calon, sesuai yang diamanatkan UU 8/2015 pasal 49 dan 50, pada pemilihan kepala daerah serentak yang akan diselenggarakan pada tanggal 9 Desember 2015 ini, terdapat tiga Kabupaten dengan calon tunggal, yakni Kabupaten Blitar (Jawa Timur), Timor Tengah Utara (Nusa Tenggara Timur) dan Tasikmalaya (Jawa Barat). Berbagai konskuensi yang bisa terjadi atas pelaksanaan pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal. Ketika pilihan “setuju” menjadi pilihan dengan perolehan suara terbanyak, maka pasangan calon lah yang akan ditetapkan sebagai pemenang pada pemilihan kepala daerah 2015. Namun jika “tidak setuju” menjadi pilihan terbanyak rakyat (pemilih) maka pelaksanaan pemilihan kepala Daerah akan dilaksanakan kembali pada pemilihan kepala daerah serentak di tahun 2017.
Terdapat berbagai hal yang mesti dipersiapkan dalam menghadapi kemungkinan- kemungkinan yang terjadi pada pelaksanaan pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal. Baik terkait dengan perencanaan yang berhubungan dengan perbaikan tahapan, terkait dengan tehnis pelaksanaan termasuk sistem kampanye dimana perlu mengakomodir pelaksanaan kampanye terhadap pilihan “tidak setuju” ini dikarenakan masyarakat perlu mendapatkan informasi yang sama sebagai dasar menentukan pilihan dan masyarakat dapat menilai pasangan calon pada kolom “setuju” layak menang. Selain itu juga perlu disiapkan hal- hal yang berkenaan dengan pengadaan logistik, dimana waktu yang dimiliki lebih pendek dari daerah yang telah melakukan proses pengadaan APK (Alat Peraga Kampanye).
Ketika pilihan “setuju” menang dalam proses pelaksanaan pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal, terdapat hal yang perlu diberikan kepastian hukum yakni, siapakah yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing) untuk melakukan proses gugatan terhadap hasil pemilihan kepala daerah. Lazimnya, berdasarkan penetapan KPU pasangan calon yang kalah merupakan pihak yang dapat menggugat hasil pemilihan kepala daerah yang ditetapkan KPU. Sementara pada calon tunggal tidak ada pasangan yang kalah. Yang ada hanya pilihan “ tidak setuju”. Mengingat ini menyangkut hak masyarakat untuk mendapatkan keadilan (judicial justice) dalam proses pemilihan.
Dan ketika “ tidak setuju” menjadi pilihan rakyat (pemilih) terbanyak, maka akan dilakukan pemilihan kembali pada tahun 2017, maka implikasinya adalah tersedianya dana untuk melakukan proses pemilihan.
Apapun yang akan terjadi pada proses pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal, ini merupakan upaya dalam mewujudkan demokrasi yang memberikan sarana kepada rakyat atas terpenuhinya hak konstitusi. Sedikitnya ada tiga tujuan dalam pemilihan di Indonesia, pertama; memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara damai dan tertib, kedua; untuk melaksnakan kedaulatan rakyat dan ketiga ; untuk melaksanakan hak- hak asasi manusia.
Dalam tujuan yang pertama, mengandung pengertian pemberian kesempatan yang sama kepada para peserta pemilihan untuk memenangkan pemilihan, dengan kata lain bahwa semua peserta memiliki peluang yang sama untuk memenangkan program-programnya. Pada posisi calon tunggal, terdapat satu pasangan calon yang menjadi peserta pemilihan kepala daerah yang sudah pasti memiliki kesempatan untuk memenangkan program-progamnya, disisi lain terdapat rakyat (pemilih) yang juga memiliki kesempatan yang sama untuk memenangkan pilihan “ tidak setuju” nya. Apapun hasilnya, dinegara demokrasi pergantian pemimpin ditentukan secara langsung oleh rakyatnya, yaitu melalui pemilihan secara langsung dan diselenggarakan secara periodik.
Dari tujuan kedua dan ketiga, bahwa pemilihan bertujuan untuk melaksanakan kedaulatan rakyat dan melaksanakan hak asasi warga negara. Melalui pemilihan kepala daerah, rakyat memunculkan calon-calonnya dan menyaring calon-calon tersebut berdasarkan nilai yang berlaku. Keikut sertaan rakyat ini dapat dipandang sebagai wujud partisipasi dalam pembentukan pemerintahan. Dalam pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal ini, rakyat dapat menentukan sikapnya melalui penentuan pilihannya dengan “ setuju” atas satu pasangan calon yang ada atau “ tidak setuju” dengan pasangan calon yang ada. Pelibatan rakyat (pemilih) seperti ini memiliki nilai demokratis yang lebih tinggi dibandingkan dengan menetapkan calon tunggal sebagai pemenang secara aklamasi.
“setuju” atau “ tidak setuju” adalah pilihan yang harus diambil oleh pemilih pada saat pelaksanaan pemilihan kepala daerah di Kabupaten Blitar, Timor Tengah Utara dan Tasikmalaya pada hari pencoblosan. Jika pasangan calon tunggal dekat dengan rakyat, dikenal oleh rakyat, dan memiliki visi dan misi yang jelas, akan menjadi perhatian besar rakyat untuk memilih “ setuju”, tetapi sebaliknya, jika calon tidak dikenal, tidak dekat dengan rakyat, tidak memiliki visi dan misi yang jelas, pastinya opsi “ tidak setuju” yang akan dipilih oleh rakyat.
Apakah sudah pasti pasangan calon tunggal akan selalu menjadi pemenang? Ataukah sebaliknya “ tidak setuju” menjadi pilihan favorit rakyat? Itu semua tergantung pada kekuatan program yang ditawarkan oleh calon, dan kekuatan dalam mensosialisasikan visi dan misinya kepada rakyat (pemilih). Kekuasaan yang langgeng adalah kekuasaan rakyat, diatas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.
Kita tunggu saja hasilnya……” setuju” atau “ tidak setuju”
Sumber referensi :
UU No. 1 Tahun 2015
UU No. 8 Tahun 2015
Keputusan MK No. 100/PUU-XIII/2015