PILKADA CALON TUNGGAL, ANTITESIS DEMOKRASI ?
Surabaya, kpujatim.go.id- Fenomena pilkada dengan calon tunggal yang terjadi di tiga daerah di Indonesia, yakni Blitar, Timor Tengah Utara dan Tasikmalaya pada pilkada serentak tahun 2015, memunculkan pertanyaan besar di masyarakat. Apakah pilkada dengan calon tunggal ini merupakan sebuah antitesis dari demokrasi?
Demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Perwujudan demokrasi dalam suatu negara terwujud dengan diadakan pemilihan umum (pemilu). Dimana dalam pemilu berlaku one man, one vote, one value.
Logika dasar pemilu ialah memilih. Jika memilih, berarti ada lebih dari satu pasangan calon. Hal ini selaras dengan yang disampaikan pakar Kepemiluan, Ramlan Surbakti bahwa dalam pemilihan umum ada alternatif. “Semakin banyak pilihan akan semakin berguna, tetapi jika tidak ada pilihan ini tidak baik,” kata Ramlan (2/9/2016).
Berdasarkan temuan di lapang yang dilakukan tim peneliti Komisi Pemilihan Umum Jawa Timur (KPU Jatim) dalam riset partisipasi masyarakat, adanya fenomena pilkada dengan calon tunggal, maka masyarakat merasa tidak ada pilihan. Sehingga menurut masyarakat, tidak ada demokrasi pada pilkada dengan calon tunggal.
Menanggapi kegundahan masyarakat ini, Ramlan menyampaikan agar fenomena calon tunggal ini tidak kembali terjadi, maka syarat pencalonan jangan terlalu berat. Selain itu, proses pencalonan harus lebih terbuka, bebas dan adil. “Dengan demikian, masyarakat tetap optimis bahwa demokrasi terus dapat diterapkan di Indonesia,” pungkas dosen Universitas Airlangga Surabaya ini.
(AACS)